-->

Naik Perahu Untuk Dapat Sinyal

Naik ke atas bukit untuk mendapatkan sinyal telepon mungkin sudah sering Anda dengar. Bagaimana kalau untuk menelepon dan mengirim SMS harus mendayung perahu dari pulau satu ke pulau lainnya?

Cerita getir itu setiap hari dialami oleh penduduk dua pulau terpencil ini, Pulau Pasi dan Pulau Mbromsi. Kedua pulau itu masuk dalam wilayah administratif Distrik Aimando, Kabupaten Biak Numfor, Papua.

Transportasi umum ke pulau-pulau di Distrik Aimando masih terbatas. Penduduk biasanya memakai perahu kecil atau dalam bahasa lokal setempat disebut ‘jonson’ untuk bepergian.

Dari Biak, Pulau Pasi dan Mbromsi dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam perjalanan ke arah timur laut. Namun, tak hanya alat transportasinya saja yang memperihatinkan. Sarana untuk menunjang komunikasi di wilayah itu pun masih jauh tertinggal.

Sampai saat ini, pulau yang terumbu karangnya tak kalah dari Raja Ampat itu belum terjangkau oleh sinyal telepon. Karena tak ada sinyal, maka penduduk tak bisa komunikasi dengan ponsel sesuka hati. Telepon genggam mereka juga tak dapat dihubungi sewaktu-waktu.

Meltianus Rumboryas (44), penduduk Pulau Pasi, menceritakan bagaimana sulitnya berkomunikasi di pulau yang ditinggalinya sejak kecil itu. Untuk berkomunikasi, ia harus menyeberang ke Pulau Karabai, yang berjarak kurang lebih 3 km. Pulau Karabai adalah satu-satunya pulau yang mendapat jangkauan sinyal.

“Di sana sinyalnya bagus,” kata Meltianus saat berbincang dengan detikcom di Pulau Mbromsi, pekan lalu.

Untuk ke Karabai, ia biasa menggunakan jonson. Ada dua jenis jonson, yaitu yang memakai mesin tempel dan yang tak bermesin alias harus didayung. Perburuan sinyal itu cukup ditempuh dalam waktu 5 menit bila memakai jonson bermesin tempel. Namun, bila mendayung, maka waktu tempuhnya akan lebih lama. “Bisa satu jam,” kata dia.

Biaya bertelepon menjadi mahal kalau penyeberangan ke Pulau Karabai dilakukan dengan jonson bermesin. Mengapa? Jawabannya mudah. Karena dibutuhkan bahan bakar untuk menjalan mesin jonson.

Harga bensin di Pulau Pasi Rp 10.000 per liter. Sedangkan dalam sekali perjalanan, jonson bisa menghabiskan tiga liter bensin. “Jadi menelepon di sini tak sekadar biaya pulsa saja,” ucap Kepala SD YPK Pasi itu.

Untuk menghemat ongkos, Meltianus tak setiap hari bertelepon. Tapi, karena ponselnya tak selalu aktif, maka rekaman SMS dan panggilan telepon beruntun masuk ketika ia berada di Pulau Karabai. Saat itu juga ia sibuk membalas SMS dan menelepon orang-orang yang menghubunginya.

“Setelah berkomunikasi ya kita pulang ke sini (Pulau Pasi),” katanya.

Karena sinyal sulit, pengisian pulsa telepon pun tak bisa dilakukan. Pulsa hanya bisa dibeli di kota Biak. Biasanya, Meltianus pergi ke Biak sebulan sekali untuk mengambil gaji. Gaji itu dibelikan barang-barang kebutuhan selama sebulan. Tak lupa ia memborong pulsa untuk persediaan.

“Saya biasa 3 hari sampai seminggu di kota (biak),” ucapnya.

Meltianus mengharapkan pemerintah memperlakukan Pulau Pasi sama dengan Kepulauan Seribu di Jakarta. Di Kepulauan Seribu, sarana komunikasi sudah dibangun dengan bagus. Sehingga komunikasi penduduk Kepuluan Seribu dengan dunia luar pun lancar.

“Kami di sini mau komunikasi dengan anak-anak kami yang ada di Biak atau pendidikan di tempat lainnya sangat susah,” keluhnya.(detik)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel